• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Masalah Remaja..

    Nov 20, 2011
    Dalam adat Melayu perkahwinan dimulai dengan pertunangan sedangkan mengikut cara yang diamalkan dalam masyarakat dulu iaitu nikah gantung adalah lebih menepati maksud khitbah dalam Islam bukannya bertunang. Ada orang yang menyamakan khitbah dalam Islam sebagai pertunangan adalah tidak tepat. Akibat dari cara khitbah yang salah telah menjadikan pertunangan sebagai asas untuk menghalalkan “coupling” 

    KHITBAH. Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama al-khithab yang berarti pembicaraan dan yang kedua al-khathb yang artinya persoalan, kepentingan dan keadaan. Jadi, jika dilihat dari segi bahasa khitbah adalah pinangan atau permintaan seseorang (laki-laki) kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Makna khitbah menurut istilah syariat tidak keluar dari makna bahasa tadi.
    Dalam islam, seorang laki-laki berhak meminang perempuan yang diinginkan menjadi istrinya, demikian pula seorang perempuan boleh meminang laki-laki yang diinginkan menjadi suaminya.

    Khitbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad atau transaksi antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang atau pihak walinya. Khitbah bukanlah suatu ikatan perjanjian antara kedua belah pihak untuk melaksanakan pernikahan. Khitbah tidak lebih dari sekedar permintaan atau permohonan untuk menikah. Khitbah sudah sah dan sempurna hanya dengan ungkapan permintaan itu saja, tanpa memerlukan syarat berupa jawaban pihak yang dipinang. Sedangkan akad baru dianggap sah apabila ada ijab dan qabul (ungkapan serah terima) kedua belah pihak.

    Khitbah menurut pengamalan orang Arab moden, terutamanya di Jordan pula amat berbeza dengan pengamalan orang bertunang secara klasikal dan juga pengamalan orang Melayu. Ia merupakan “akad nikah” dalam erti kata yang sebenar. Akad khitbah di dalam masyarakat arab pada realitinya merupakan akad nikah. Seperkara yang membezakan di antara akad nikah dan khitbah ialah kedua-dua pasangan khitbah tidak tinggal bersama sehinggalah selesai majlis perkahwinan dijalankan. Pada dasarnya, mereka berdua adalah suami isteri dan halal untuk melakukan apa sahaja yang difikirkan untuk mereka melakukannya. Di dalam masyarakat kita, pernikahan tersebut diberikan nama “nikah gantung” (bunyinya amat mengerikan?).
    Jika ditukarkan nama “nikah gantung” tersebut kepada “nikah khitbah” tentu konotasi terhadap kontrak tersebut tidaklah mengerikan. Bunyinya pun agak “islamik”. Jika ia dapat diamalkan oleh kebanyakan pemuda pemudi kita hatta yang janda, duda atau yang nak berpoligami serta yang dilanda asmara dan cinta serius berkemungkinan ia boleh menyelesaikan banyak perkara yang mereka hadapi.
    Nikah adalah untuk menghalalkan perhubungan dan juga membina kematangan. Yang utamanya, kedua-dua pasangan sudah halal dan sudah boleh bersama dan melakukan apa sahaja. Bunyinya agak mudah, namun realitinya tidak demikian. Sudah pasti ada ibu bapa tidak akan bersetuju. Dalam hal ini, anjakan paradigma oleh para ibu bapa amat diperlukan. Ibu bapa perlu sedar zaman anak-anak mereka kini bukanlah seperti zaman mereka dahulu. Zaman kini fitnahnya berleluasa dan kerosakan moral telah menggila. Lihatlah apa yang berlaku di seluruh tanah air, rasanya pendedahan oleh media massa mengenai aktiviti pengguguran cukup merisaukan banyak pihak. Apakah ibu bapa mengharapkan anak-anak mereka menjadi malaikat yang tidak terpengaruh dengan suasana persekitaran, rancangan-rancangan hiburan dan bahan-bahan literasi menjurus ke arah maksiat dan nafsu.


    KHITBAH DAN MAHAR


    1. CARA MEMILIH ISTRI

    Telah shohih dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwasanya beliau menganjurkan menikahi wanita yang memiliki agama, memiliki sifat kasih-sayang dan subur. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah memilih istri yang sholeh, disebabkan maslahat-maslahat kehidupan rumah tangga yang dipetik dari itu, serta pengaruhnya yang besar terhadap kesholehan dan keistiqomahan anak keturunan kelak.

    Allah Ta’ala berfirman (artinya), “sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisa’ : 34)

    2. TANGGUNG JAWAB WALI AMRI PEMUDI (GADIS) TERHADAP LAKI-LAKI YANG MAJU UNTUK MEMINANG PUTRINYA

    Wali amri seorang pemudi wajib memilihkan untuk putrinya seorang laki-laki yang sepadan dan sholeh, dari orang-orang yang ia ridhoi agama dan amanahnya, berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama,

    إذا أتاكم من ترضون خلقه و دينه فزوجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض و فساد عريض

    “Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas”.

    Maka wali pemudi wajib bertakwa kepada Allah dalam masalah itu, dan menjaga maslahat putrinya bukan maslahat dia, sesungguhnya ia dibebani amanah dan kelak diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang Allah amanahkan kepadanya. Dan janganlah ia membebani peminang apa yang tidak dia sanggupi, seperti meminta mahar melebihi kebiasaan yang berlaku.

    3. LANDASAN SEORANG PEMUDI DALAM MEMILIH SUAMINYA

    Sifat-sifat yang paling penting yang karenanyalah seharusnya seorang pemudi memilih laki-laki yang datang meminangnya yaitu akhlak dan agama. Adapun harta dan nasab adalah masalah kedua, akan tetapi yang paling penting adalah hendaknya yang datang meminang adalah seorang yang memiliki agama dan akhlak. Karena seorang pria yang memiliki agama dan akhlak, wanita tidak akan kehilangan apa-apa darinya. Jika ia menahannya ia menahannya dengan baik, jika ia melepaskannya ia melepaskannya dengan baik pula. Kemudian laki-laki yang memiliki agama dan akhlak diberkahi Allah begitu juga anak keturunannya. Istrinya bisa belajar darinya akhlak dan agama. Adapun jika tidak memiliki agama dan akhlak, seorang wanita hendaknya menjauh darinya, khususnya sebagian orang-orang yang melalaikan sholat atau orang-orang yang dikenal suka meminum khomar, wal ‘iyadz billah.

    Adapun orang-orang yang tidak solat sama sekali, maka mereka adalah berdoda kepada Allah. Wanita mukminah tidak halal bagi mereka sebagaimana mereka juga tidak halal bagi wanita mukminah. yang penting, seorang wanita menitik-beratkan pada akhlak dan agama. Adapun nasab jika di dapat yang memiliki nasab bagus tentu lebih utama. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda, “Apabila datang kepada kalian seorang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia”..

    Masalah Hati

    Imam Ghazali telah berpendapat tentang masalah hati yang berhubung dengan amal lahiriah ada 3 macam:

    1) Hati yang penuh dengan taqwa, suci dari akhlak-akhlak yang tidak baik, maka hati yang begini bersinar pada akal dalam berfikir pada yang baik-baik dan menyebabkan pula terbuka sinar matahati, sehingga hati selalu melihat segala sesuatu yang baik-baik dan diredhai oleh Allah. Apabila hati telah suci dari segala penyakitnya, maka dekatlah hati kpd Allah, dgn mensyukuri nikmat-nikmatNya. Sabar dan takut kepadaNya serta mengharapkan kasih sayangNya, rindu dan bertawakkal kepadaNya dan lain-lain sebagainya. Pada waktu itu barulah hati kita tenteram, tenang dan tidak kacau-bilaukan atau digelisahkan oleh persoalan-persoalan duniawi. Berfirman Allah s.w.t. dalam Al-quran:

    "Orang-orang yang beriman itu hati mereka menjadi tenteram kerana mengingat Tuhan. Ingatlah, bahwa dengan mengingat Tuhan itu, hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik, mereka memperoleh untung baik dan tempat kembali yang utama." (Ar-Ra'ad: 28-29)


    2) Hati yang penuh dengan gelora hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati di mana dengannya terbuka pintu hati untuk iblis dan syaitan tetepi tetutup untuk malaikat-malaikat Tuhan. Hati yang begini, kontak dengan akal. Maka akal pada waktu itu membantu hati utk bagaimana terlaksana hawanya dan nafsunya. Maka lapanglah dada dlm memanjang hawa nafsu. Maka kuatlah kekuasaan syaitan kerana jalannya telah terbuka dgn luas. Dhaiflah kekuatan iman, disbbkan asap yang gelap terhadap hati. Untuk ini maka Allah menggambarkan dalam firmanNya dlm Al-Quran:

    "Nampakkah keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. (Al-Furqan: 43-44)


    3) Hati yang terumbang-ambing antara kebaikan dan kejahatan atau dgn kata lain antara malaikat dan syaitan. Hati yang begini adalah hati yang sering ragu disbbkan kadang-kadang timbul daya tarik kpd kejahatan, tetapi pada waktu itu datang pula daya tarik kpd kebaikan. Pada ketika itulah yang adalah kehendak Allah s.w.t sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

    "Maka sesiapa yang Allah kehendaki untuk memberi hidayah petunjuk kepadanya nescaya Ia melapangkan dadanya (membuka hatinya) untuk menerima Islam; dan sesiapa yang Allah kehendaki untuk menyesatkannya, nescaya Ia menjadikan dadanya sesak sempit sesempit-sempitnya, seolah-olah ia sedang mendaki naik ke langit (dengan susah payahnya). Demikianlah Allah menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu (ugama Islam) yang betul lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat keterangan (Kami) satu persatu, bagi kaum yang mahu beringat - insaf." (al-An'aam: 125-126)


    "Wahai Tuhan yang membolak-balikkan sekalian hati, tetapkanlah hatiku atas agamaMu (Islam). Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menzalim diri sendiri."

    By:Imam Al-Ghazali

    Doa Belajar

    SEBELUM BELAJAR

    1) Berdo’a.

    2) Tarik nafas:
    Oksigen akan sampai ke seluruh badan dan merangsang otak.
    Kesannya kita akan lebih bertenaga dan tenang.

    3) Cara duduk:
    Duduk ke hadapan sedikit seperti sedang mendengar cerita menarik


    4) Tentukan tajuk:
    Tetapkan tajuk-tajuk tertentu yang hendak dibaca/ulangkaji pada sesuatu masa.
    5) Tentukan jumlah muka surat / bab yang akan dibaca.
    6) Tentukan tempoh masa
    Berapa lama hendak membaca.


    SEMASA BELAJAR

    1) Tunjuk dengan jari:
    Seperti mengaji Al-Qur’an.
    2) Fahamkan dan bayangkan
    Otak akan sentiasa aktif.
    Contoh: membaca mengenai HAJI.
    Dapat bayangkan bentuk atau rupa Ka’bah.
    Seolah-olah berbual dengan jemaah.
    Menggunakan keduan-dua belah otak kiri dan kanan
    .

    3) Selang-selikan dengan rehat:
    Setiap 30 minit berehat 5 minit.
    JANGAN diselangi dengan menonton TV atau mendengar radio.
    Memadai dengan minum air jarang ( mineral ), berjalan-jalan di halaman atau senaman ringan seperti regangan otot.

    .

    Doa Memohon Pertambahan Ilmu
    .

    اللَّــهُمَّ انْـفَعْنِي بِمَا عَلَّمْـتَنِي ، وَ عَلِّمْنِي مَا يَنْـفَـعُـنِي ،
    وَزِدْنِي عِلْماً ، الْحَمْدُ للَّـهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ،
    وَأَعُوذُ بِاللَّـهِ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ

    .
    Maksudnya :
    “ Ya Allah berikanlah keadaku manfaat atas segala yang Engkau ajarkan, dan ajarkanlah kepadaku apa yang memberi manfaat dan tambahkanlah ilmuku, syukur kepadaMu atas segala yang perkara, aku memohon perlindungan dariMu dari keadaan ahli neraka”.
    .
    Keterangan & Petua Beramal
    Hati yang tidak khusyuk boleh menyebabkan kita lalai dalam urusan dunia . Ini mengakibatkan tidak ada kelazatan dalam ibadah . Bila tiada kelazatan ibadah , doa yang dipanjatkan tiada ruh , keazaman dan kekuatan . Jiwa pula akan penuh dengan mazmumah membawa diri jauh dari keredhaan Allah swt . Antara faktor yang menyumbang ke arah itu ialah kejahilan . Semuanya berkaitan antara satu dengan yang lain .
    .
    Menurut Ibnul Jauzi , antara taktik yang dirancang oleh iblis ialah menyelewengkan manusia ke arah mempelajari perkara-perkara yang kecil dan tidak penting dalam syara`.Ini termasuklah mempelajari qiraat-qiraat yang syazzah dengan tujuan berbangga dan menunjukkan ketokohan dalam bidang tersebut.
    .
    Sedangkan umat Islam tidak mendapat apa-apa faedah dari ilmunya itu.Demikian juga golongan yang gemar mempelajari perkara-perkara yang disangkanya dari hadith nabi, sedangkan dia tidak berusaha memastikan adakah ia benar-benar hadith ataupun hadith yang palsu.Akhirnya dia sibuk mengajar manusia perkara-perkara yang tidak berasaskan syariat itu untuk menampakkan keunggulan ilmunya, kononnya dia mengetahui apa yang orang lain tidak tahu.
    DARI KITAB 101 DOA DRP HADIS-HADIS SAHIH TERBITAN TELAGA BIRU

    Sumber: http://akuislam.com/blog/doa/petua-dan-doa-semasa-belajar/#ixzz1eEPNOXTd

    Kisah Ulama' Jahat Surah Al Aa'raf

    Nov 16, 2011
    TAFSIR AYAT 175 HINGGA 177 SURAH AL A’RAAF
    175. Dan bacakanlah kepada mereka (Wahai Muhammad), khabar berita seorang Yang Kami beri kepadanya (pengetahuan mengenai) ayat-ayat (Kitab) kami. kemudian ia menjadikan dirinya terkeluar dari mematuhinya, lalu ia diikuti oleh Syaitan (dengan godaannya), maka menjadilah dari orang-orang Yang sesat.
    176. Dan kalau Kami kehendaki nescaya Kami tinggikan pangkatnya Dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. tetapi ia bermati-mati cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing, jika Engkau menghalaunya: ia menghulurkan lidahnya termengah-mengah, dan jika Engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan orang-orang Yang mendustakan ayat-ayat kami. maka ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berfikir.
    177. Amatlah buruknya bandingan orang-orang Yang mendustakan ayat-ayat kami, dan mereka pula berlaku zalim kepada diri merela sendiri.

    KISAH DARI AYAT

    Nabi Muhammad S.A.W. diperintahkan Allah menceritakan kisah seorang Ulama’ yang juga Wali Allah bernama Bal’am ibnu Ba’ura dari kalangan Bani Israel yang hidup di zaman Nabi Musa aliahissalam yang sangat mustajab doanya.
    Dia termasuk salah seorang yang diberi ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Setiap kali menyampaikan kuliah, seramai 12 ribu ulama’ menimba ilmu agama darinya.
    Menurut ulama tafsir yang diambil dari ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengisahkan:,
    Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam datang ke Kan’aan bersama para pengikutnya, para kerabat dan sepupu Bal’am datang menemui Bal’am lalu berkata: “Musa itu orang yang tiada tolak ansur dan mempunyai pasukan yang besar. Kalau dia menang tentulah dia akan memusnahkan kita. Maka doakanlah kepada Allah agar Dia menjauhkan Musa beserta pasukannya.”
    Kata Bal’am: “Sesungguhnya, jika aku berdoa kepada Allah agar menghalau Musa dan orang-orang yang bersamanya, tentulah dunia dan akhiratku hilang.”
    Tapi mereka terus menerus memujuknya hingga diapun menuruti permintaan mereka. Dikisahkan, setiap kali dia mendoakan keburukan terhadap Nabi Musa dan pasukannya, maka doa itu menimpa Bal’am dan orang-orang yang memujuknya. Begitulah seterusnya, wallahu a’lam.
    Menyedari hal itu, merekapun menegurnya, mengapa dia mendoakan keburukan terhadap mereka?
    “Begitulah, setiap aku mendoakan keburukan buat mereka(Musa dan pengikutnya) tidak dikabulkan doaku. Tapi aku akan tunjukkan kepada kamu satu hal yang semoga saja dapat menjadi sebab kebinasaan mereka. Sesungguhnya Allah membenci perzinaan, dan kalau mereka jatuh dalam perbuatan zina, nescaya mereka pasti binasa, dan aku berharap Allah menghancurkan mereka. Maka keluarkanlah para wanita menemui mereka. Kerana mereka itu para musafir, mudah-mudahan mereka terjerumus dalam perzinaan lalu binasa.”
    Setelah sebahagian besar mereka terjerumus dalam perbuatan zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala kirimkan wabak tha’un sehingga menewaskan 70 ribu orang dari mereka.
    Pendek cerita, Bal’am pun tersungkur di pintu syurga dek diperdaya oleh syaitan walaupun berilmu tinggi.
    PERUMPAMAAN ULAMA’ JAHAT DENGAN ANJING
    As suddi berkata bahawa ayat itu merujuk kepada Bal’am yang ‘menjelir lidahnya’ selepas kesesatan beliau sebagaimana menjelirnya anjing. Dan tafsiran perumpamaan ini di sisi kebanyakan ahli ilmu tafsir secara umumnya merujuk kepada setiap orang yang mengetahui al Qur’an tetapi tidak beramal dengannya. Sesetengah pendapat(lemah) merujuk kepada orang munafik. Pendapat yang pertama lebih benar.
    Begitu juga pendapat Mujahid tentang ayat ini; “Begitulah keadaan sesiapa yang membaca al Qur’an tetapi tidak beramal dengan apa yang terkandung di dalamnya.” Sesetengah ulama pula menyebutkan bahawa ; “Inilah seburuk-buruk perumpamaan. Kerana sesungguhnya Allah menyamakan orang sebegitu yakni yang dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga ia tidak mampu mengawal dirinya daripada mendapat mudarat mahupun manfaat dengan seekor anjing yang sentiasa menjelir lidah.”
    Allah membuat perumpamaan orang-orang yang mengambil ‘rasuah’ dalam agama dengan anjing yang sentiasa menjelir lidahnya. Betapa hinanya perlakuan mereka yang tahu ayat Allah tetapi sanggup menggadaikannya dengan mata benda dunia yang sedikit. Harta, pangkat, kedudukan dan wang ringgit yang mereka ambil daripada penguasa yang zalim tidak bernilai sedikitpun di sisi Allah. Mereka menjadi golongan yang hina sehina-hinanya kerana menyembunyikan kebenaran al Qur’an.

    Pengenalan Usul Fiqh


    Untuk pengetahuan, saya menggunakan risalah matan al waraqat fi usulil fiqh karangan al Imam al Haramain Abdul Malik bin Abdullah al Juwaini(meninggal 478 hijriah) sebagai asas dan kitab Syeikh Abdul Karim Zaidan, al wajiz fi usulil fiqh sebagai huraiannya.
    Makna Usul Fiqh
    Usul: ia kalimah jamak(plural) bagi aslun yang membawa makna secara bahasanya; “Apa yang dibina ke atasnya(asas) selainnya”. Adapun makna usul dari sudut istilah memberi beberapa pengertian iaitu dalil, rajih(asal makna yang hakiki dari Qur’an Sunnah), dan kaedah.
    Fiqh: Pada bahasa, ia bererti “Ilmu dengan sesuatu dan kefahaman baginya.” Akan tetapi penggunaannya(kalimah fiqh) dalam al Qur’an tidaklah menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dalam ilmu fiqh, bahkan ia membawa erti kefahaman yang mendalam seperti dalam contoh ayat;

    di mana jua kamu berada, maut akan mendapatkan kamu (bila sampai ajal), sekalipun kamu berada Dalam benteng-benteng Yang tinggi lagi kukuh. dan kalau mereka beroleh kebaikan (kemewahan hidup), mereka berkata: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau pula mereka ditimpa bencana, mereka berkata:” ini adalah dari (sesuatu nahas) Yang ada padamu”. Katakanlah (Wahai Muhammad): “Semuanya itu (kebaikan dan bencana) adalah (berpunca) dari sisi Allah”. maka apakah Yang menyebabkan kaum itu hampir-hampir tidak memahami perkataan (nasihat dan pengajaran)?
    Adapun al fiqh pada istilah ulama’ ialah satu ilmu dengan hukum syarak yang praktikal, yang diusahakan secara ijtihadi daripada dalil-dalilnya yang terperinci; atau ia(fiqh) merupakan hukum-hukum itu sendiri.
    Adapun Usul Fiqh sebagai satu istilah, ia membawa maksud :
    “Ilmu tentang kaedah mengeluarkan hukum fiqh berdasarkan dalil ijmal (umum/tidak terperinci).”

    Sejarah Perkembangan Usul Fiqh

    Sejarah Perkembangan Ilmu Usul al-Fiqh
    Zaman Rasulullah S.A.W.
    Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri. Namun, terdapat sebahagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
    Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari al-Quran dan as-Sunnah kerana:
    1. penguasaan bahasa Arab yang baik;
    2. mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
    3. mereka merupakan para Perawi Hadis.
    Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaedah qias. Inilah cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
    Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeza dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membezakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
    Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah. Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mula menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakana ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.
    Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
    …………………………
    Artikel ini diambil dari http://halaqah.net.
    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...